Sabtu, 13 Juli 2013

Sejarah wali songo

Sedikit share ya,, bagi2 pengetahuan,,, (^__^)

Islam di Indonesia sangat identik dengan jejak penyebaran para tokoh Islam di Jawa yang kemudian disebut dengan Wali Songo. Meski demikian, bukan berarti Islam baru dikenalkan setelah para wali ini datang ke tanah Jawa. Sedang Islam sendiri diketahui telah menyebar ke Indonesia melalui kerajaan Pasai (Sematera). Hanya saja, Islam pada masa wali ini memiliki corak yang berbeda, yaitu menjadikan Islam di Jawa memiliki dua pandangan, yaitu antara Islam abangan dan Islam putihan.
Islam abangan inilah yang kemudian menjadikan banyak masyarakat Jawa yang beraliran Hindhu-Budha menjadi Islam. Hal ini dikarenakan dalam ajarannya, Islam abangan mengenalkan ajarannya sesuai dengan apa yang disenangi masyrakatnya, yaitu seni dan pewayangan. Sedang Islam putihan hanya tertuju pada ajaran Islam yang tidak mengambil cara demikian.
Wali songo sendiri diyakini sebuah majelis (organisasi) Islam saat itu dengan anggotanya yang berjumlah hingga sembilan orang, sedang pendirinya adalah Raden Rahmad (Sunan Ampel). Pendapat lain menyebutkan bahwa kata “songo” berasal dari kata “tsana” yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata “sana” berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Hanya saja wali songo dikenal sebagian besar masyarakat dikarenakan masa-masa tersebutlah Islam kemudian menjadi semakin luas, yaitu tidak hanya melalui perdagangan dan dakwah, melainkan pula melalui kesenian tradisional masing-masing masyarakat Jawa. Selain tersebut, para wali ini juga dapat digunakan sebagai symbol kebesaran Islam dalam Indonesia, terutama di Jawa. Berikut adalah susunan wali songo yang menjadi perdebatan diantara kalangan umum saat ini.
Pendapat pertama, yaitu yang menyebutkan wali songo sebagai majelis Islam adalah terdiri dari:
1. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
2. Raden Hasan (Pangeran Bintara)
3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
4. Raden Qasim (Sunan Drajat)
5. Utsman Haji (Sunan Ngudung)
6. Raden Paku (Sunan Giri)
7. Syekh Suta Maharaja
8. Raden Hamzah (Pangeran Tumapel)
9. Raden Mahmud
Sedang pendapat berikutnya, yaitu kebanyakan datang dari kalangan Jawa Timur beranggapan bahwa wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
4. Raden Qasim (Sunan Drajat)
5. Raden Paku (Sunan Giri)
6. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
7. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
8. Raden Said (Sunan Kalijaga)
9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Pendapat yang lainnya, yang kebanyakan diyakini dari kalangan Jawa Tengah, yaitu wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
3. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
4. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
5. Raden Qasim (Sunan Drajat)
6. Raden Paku (Sunan Giri)
7. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
8. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
9. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
Sedang di Jawa Barat, terdapat pendapat yang lainnya pula, yaitu wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
3. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
4. Raden Rahmat (Sunan Ampel)
5. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
6. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
7. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
8. Raden Paku (Sunan Giri)
9. Raden Said (Sunan Kalijaga)
Dengan beragamnya nama-nama dalam susunan wali songo, adalah tidak menjadi masalah karena yang telah para wali ini memiliki jasa yang besar dalam penyebaran Islam.


1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Dalam penyebutan nama Maulana Malik Ibrahim adalah sangat banyak dalam susunan wali songo meski banyak pula yang tidak memasukkannya. Maulana Malik Ibrahim juga diyakini salah satu keturunan Nabi Muhammad dari Husain bin Ali dan dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim memiliki banyak nama sebutan, diantaranya dikenal sebagai Sunan Gresik, Syekh Maghribi, Makhdum Ibrahim as Samarqandy, dan atau Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah pada paruh awal abad ke-14. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Berikut adalah silsilah Maulana Malik Ibrahim hingga Nabi Muhammad, yaitu putra dari Zainal Alam Barakat (Barokah Zainul Alam) bin Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada awal penyebaran Islamnya, Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq berpisah setelah datang di pulau Jawa. Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai, sedang Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa selama tiga belas tahun. Di sana Maulana Malik Ibrahim menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya.
Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar (9 kilometer ke arah utara kota Gresik). Dalam dakwahnya, Maulana Malik Ibrahim kemudian mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Dengan maraknya perdagangan yang melibatkan masyarakat banyak, termasuk raja dan para bangsawan, pemilik kapal atau pemodal, Maulana Malik Ibrahim pun melakukan usaha berdagang. Sedang daerah yang dipilihnya adalah di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Selain dalam hal berdagang, Maulana Malik Ibrahim juga melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan guna mengajak raja Majapahit masuk dalam Islam. Hanya saja, raja Majapahit tidak masuk Islam. Meski demikian, dia menerimanya dengan baik dan bahkan memberikan sebidang tanah di pinggiran kota Gresik kepada Maulana Malik Ibrahim. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura.
Dalam hal penebaran Islam, Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Itu sebabnya, ajaran Islam yang dibawa Maulana Malik Ibrahim dengan cepat memasyarakat. Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim kemudian wafat dan kini makamnya dapat ditemui di desa Gapura Wetan, Gresik-Jawa Timur.

2. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
Maulana Malik Ibrahim setelah menikahi putri Champa, telah meninggalkan dua anaknya, yaitu Sayyid Ahmad Rahmatillah dan Sayid Ali Murtadha. Sayyid Ahmad Rahmatillah inilah ketika dewasa menyusul Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa yang kemudian dikenal dengan Raden Rahmad pada tahun 1443. Dalam penyebaran Islamnya, Raden Rahmad kemudian memilih Ampel Denta, Surabaya sebagai pijakan pertamanya. Itu sebab, Raden Rahmad kemudian disebut pula Sunan Ampel dan dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya.
Lantaran sebagai putra Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmad pun juga keturunan Nabi Muhammad, sedang namanya adalah Sayyid Ahmad Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim bin Zainal Alam Barakat bin Jamaluddin Akbar al Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Raden Rahmad termasuk seorang yang mulia, ini dikarenakan bahwa pendirian majelis ulama pertama kali adalah berkat usahanya, yaitu yang sekarang dikenal sebagai wali songo. Sedang pendirian majelis ini adalah guna menyebarkan Islam secara menyeluruh hingga pelosok Nusantara (Indonesia). Majelis wali songo inilah yang kemudian masih dalam perdebatan hingga kini, yaitu tentang siapa anggotanya dan kebenaran keberadaan majelis ini. Sedang Raden Rahmad sendiri membagi wilayah penyebaran Islam kepada seluruh murid-muridnya yang dinyatakan telah siap. Itu sebab, Raden Rahmad yang dijuluki sebagai Sunan Ampel kemudian menjadikan Ampel sebagai pusat dari penyebaran Islam saat itu.
Diantara banyak murid Raden Rahmad adalah keturunannya sendiri yang kemudian juga termasuk dalam susunan wali songo. Diantaranya adalah:
1. Dari pernikahannya dengan Dewi Candrawati, seorang putri dari kerajaan Majapahit. Sedang beberapa sejarah mengarah bahwa istri Raden Rahmad tersebut adalah Nyai Ageng Manila, putri dari Adipati Tuban (Arya Teja).
a. Raden Makdum Ibrahim, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bonang.
b. Raden Qasim Syarifudin, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat.
c. Raden Rahmad, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Lamongan.
d. Nyai Ageng Maloka (Siti Muthmainah), yang kemudian menjadi istri dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
e. Siti Syariah (Syarifah), yang kemudian menjadi menjadi istri dari Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung. Sedang keturunannya kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus (Raden Jakfar Shadiq).
f. Siti Khafshah, yang kemudian menjadi istri dari Raden Said (Sunan Kalijaga).

2. Dari pernikahannya dengan Siti Karimah, seorang putri dari Ki Ageng Supa yang juga merupakan murid Raden Rahmad yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bungkul.
a. Dewi Murthasiah, yang kemudian menjadi menjadi istri pertama dari Raden Paku atau Sunan Giri.
b. Dewi Murthasimah, yang kemudian menjadi istri dari Raden Hasan (Raden Patah/Sultan Demak).
Selama dalam penyebaran Islamnya, Raden Rahmad berhasil membangun sebuah masjid di Demak pada tahun 1479 yang kemudian dikenal dengan Mesjid Agung Demak. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Dari pasangan Raden Rahmad dan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila) inilah Raden Makdum Ibrahim dilahirkan. Dalam dakwahnya, Raden Makdum Ibrahim menggunakan kesenian sebagai media pengenalan pengamalan dari agama Islam terhadap masyarakatnya. Salah satu kesenian yang dikaryakannya dan hingga kini masih dikenal adalah tembang “tombo ati” dan rabab dalam gamelan. Sedang daerah yang menjadi siar Islamnya adalah Bonang, kabupaten Rembang.
Raden Makdum Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465. Sedang kematiannya adalah sekitar tahun 1525. Sedang kematiannya adalah sebuah keajaiban, yaitu terdapat dua makam di tempat yang berbeda, antara Tuban dan Bawean. Raden Makdum Ibrahim sendiri meninggal di Bawean, sedang muridnya yang berasal dari Tuban mengetahui perihal kematian Raden Makdum Ibrahim kemudian segera menjemput dan berniat membawa jenazah Raden Makdum Ibrahim ke Tuban, sedang yang berhasil dibawa oleh para muridnya hanya pakaian dan kain kafannya saja. Sedang data lain menyebutkan bahwa yang memperebutkan jenazah Raden Makdum Ibrahim dari bawean tersebut adalah murinnya yang berasal dari Madura. Hanya saja, di tengah perjalanan, jenazah Raden Makdum Ibrahim kemudian dapat diambil oleh para murid lainnya yang berasal dari Tuban.
Bagaimanapun sejarah tersebut menyebutkan, kini makam Raden Makdum Ibrahim terdapat di dua tempat, yaitu Bawean dan Tuban. Sedang yang sering dikunjungi sebagai ziarah para wali adalah di Tuban. Kebenaran akan kedua makam tersebut adalah dari kejadian yang meninggalkan masing-masing diantara jenazah tersebut adalah masing-masing mengenakan selembar kain kafan. Sedang jenazahnya yang sebelum diperebutkan mengenakan dua lembar kain kafan.

4. Raden Qasim Syarifudin (Sunan Drajat)
Setelah Raden Makdum Ibrahim dilahirkan, Raden Rahmad dan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila) kemudian diberikan keturunan kembalai, yaitu Raden Qasim Syarifudin. Dalam dakwahnya, Raden Qasim syarifudin menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam.
Raden Qasim Syarifudin diperkirakan dilahirkan pada tahun 1470. Sedang daerah yang menjadi dakwahnya adalah desa Drajat, Paciran-Lamongan. Itu sebab Raden Qasim Syarifudin juga dikenal sebagai Sunan Drajat. Daerah yang dijadikan dakwahnya adalah daerah pemberian Raden Patah, kerajaan Demak. Setelah memberikan daerah tersebut dan menilai Raden Qasim Syarifudin telah berhasil membangun akhlak dan ekonomi daerahnya, Raden Patah kemudian menyebutnya sebagai Sunan Mayang Madu pada tahun saka 1442 atau bertepatan dengan tahun 1520.
Seperti saudaranya, Raden Qasim Syarifudin juga menggunakan kesenian sebagai media dakwahnya. Hal ini dapat diketahui dengan peninggalannya yang berupa tembang “macapat pangkur” dan gamelan Singomengkok yang kini masih ada peninggalannya di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan ayng telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur pada 1 Maret 1992.
Raden Qasim Syarifudin diperkirakan wafat pada tahun 1522. Sedang dalam kompleks makamnya terdapat tujuh filosofi yang telah diajarkan meluas di masyarakatnya. Diantara ketujuh filosofi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)

5. Raden Paku (Sunan Giri)
Kelahiran Raden Paku atau Raden ‘Ainul Yaqin dengan tanpa kehadiran bapaknya disampingnya. Hal ini lantaran Maulana Ishaq, bapaknya memilih berhijrah ke kerajaan Pasai dua bulan sebelum kelahirannya. Sedang kepergian ini diaksudkan demi keselamatan Raden Paku dari keganasan Patih Bajul Seggara yang memang menginginkan kematian Maulana Ishaq.
Pada dewasanya, Raden Paku pun lebih memilih dibuang oleh ibunya, Dewi Sekardadu juga demi keselamatan Raden Paku dari percobaan pembunuhan akibat hasutan Patih Bajul Senggara kepada sultan Blambangan, yang merupakan kakek Raden Paku. Dalam pembuangan Raden Paku tersebut, Raden Paku dibuang melalui lautan yang kemudian ditemukan oleh pelaut yang hendak berdagang di Jawa atas perintah Nyai Gede Pinatih. Melihat sebuah kotak di lautan bebas, pelaut tersebut kemudian menyerahkan kotak tersebut beserta isinya yang berisi bayi kepada Nyai Gede Pinantih.
Karena bayi tersebut ditemukan di lautan bebas, Raden Paku pun kemudian dinamai sebagai Jaka Samudra. Nyai Gede Pinantih kemudian mengirim Jaka Samudra ke Ampeldenta guna mendalami Islam. Sedang berita pembuangan Raden Paku ke lautan pun akhirnya terdengar oleh Maulana Ishak. Dan berita adanya Raden Paku di tangan Nayai Gede Pinantih pun terdengar hingga pengirimannya ke Ampeldenta. Itu sebab, Maulana Ishaq kemudian menaruh pesan kepada Raden Rahmad (Sunan Ampel) yang merupakan anak dari kakaknya, Maulana Malik Ibrahim agar kembali menamainya sebagai Raden Paku dan segera memberitakan kebenaran silsilahnya.
Adapun Raden Paku selain dikenal sebagai Raden ‘Ainul Yaqin, beberapa nama lainnya juga dikenal sebagai Prabu Satmata dan Sultan Abdul Faqih. Sedang silsilah keluarganya adalah Raden Paku putra dari Maulana Ishaq bin Zainal Alam Barakat bin Jamaluddin Akbar al Husaini (Jumadil Qubro) bin Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan) bin Abdullah (al Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi Muhammad).
Dalam mendalami ajaran Islam di Ampeldenta, Jaka Samudra berahabat dengan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), anak Raden Rahmad. Lantaran Jaka Samudra telah cukup mendalami Islam, Jaka Samudra kemudian menemui Maulana Ishaq bersama Raden Makdum Ibrahim ke kerajaan Pasai.
Setelah bertemu dengan Maulana Ishak, Raden Paku kemudian mendirikan sebuah pesantrenan yang kemudian dinamakan Pesantren Giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung. Seperti Raden Makdum Ibrahim, Raden Paku juga mengajrkan kesenian yang hingga kini dapat ditemui, diantaranya yaitu permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

6. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
Sama halnya wali-wali sebelumnya yang juga merupakan satu keturunan dengan Nabi Muhammad, juga terjadi pada Jakfar Shadiq (Raden Amir Haji). Hanya saja silsilah keturunan ini berasal dari ibunya yang merupakan anak dari Raden Rahmad, Siti Syariah (Syarifah). Sedang bapaknya sendiri juga dipercaya sebagai salah satu wali songo, Raden Usman Haji (Sunan Ngudung). Jakfar Shadiq sendiri diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sebagai salah seorang tokoh penyebar Islam, Jakfar Shadiq memiliki peran yang besar dalam pemerintahan kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Dengan adanya jabatan yang diperolehnya tersebut, maka dengan mudah berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sultan Prawoto (penguasa Demak) dan Arya Penangsang (adipati Jipang Panolan).
Dalam hal kesultanan, Jakfar Shadiq adalah seorang yang berhasil menumbangkan kadipaten Pengging yang juga merupakan kekuasaan kesultanan Demak. Disebutkan bahwa kadipaten ini telah dikuasai seorang murid dari Syekh Siti Djenar yang dianggap bias. Dalam perlawanan terhadap kadipaten Pengging, Jakfar Shadiq tidak terlalu banyak mengalami kesulitan lantaran pimpinan kadipaten Pengging, Ki Ageng Penggeng sendiri telah menyerahkan nyawanya. Hingga akhirnya, kadipaten Pengging pun kemudian kembali pada kesultanan Demak.
Selain hal tersebut, Islam di tangan Jakfar Shadiq terbilang sangat mudah lantaran Jakfar Shadiq sendiri seorang yang selalu menghargai masyarakat dan budayanya. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus yang arsitekturnya bergaya campuran antara Hindu dan Islam. Sehingga masyarakat hindhu saat itupun tidak merasa ditindas dan mengenal Islam yang saling menghormati. Selain itu, keunikan yang terjadi pun pada saat Hari Raya Kurban, yaitu pengalihan hewan kurban dari sapi ke kerbau. Hal ini tentu saja dilakukan lantaran menjaga ketersinggungan Hindhu yang menganggap sapi adalah hewan suci.
Pada tahun 1530, Jakfar Shadiq mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah. Masjid yang dibangun oelh Jakfar Shadiq ini di dasari oleh batu yang sengaja diambil dari Baitul Maqdis setelah berhasil menyelesaikan masalah yang menimpa kawasan Baitul Maqdis.

7. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar 1450, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448. Nama Syarif Hidayatullah sebenarnya adalah Syarif Hidayatullah al Khan bin Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah al Khan bin Sayyid ‘Ali Nuruddin al Khan (Ali Nuralam Akbar) bin Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Dalam hal silsilah keluarganya, Syarif Hidayatullah bukan seorang yang biasa, lantaran dari keturunan bapaknya manjadikan sebagai salah seorang juga keturunan Nabi Muhammad, Syarif Hidayatullah juga merupakan keturunan kesultanan Sunda yang berasal dari ibunya. Yaitu Rara Santang (Syarifah Muda’im) binti Raden Pamanah Rasa (Prabu Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi II) bin Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali) bin Niskala Wastu Kancana (Prabu Siliwangi I) bin Prabu Linggabuana (Prabu Wangi).
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari bupati Banten yang bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Syarif Hidayatullah sangat erat hubungannya dengan berdirinya kesultanan Cirebon. Yaitu sebagai pendiri kesultanan Cirebon setelah kesultanan Demak mengalami perpecahan dari masing-masing daerah yang ditaklukkannya. Sedang dalam hubungannya dengan kesultanan Demak, Syarif Hidayatullah adalah seorang tata Negara yang ahli di bidangnya, itu sebab, Patih Unus kemudian mengirim Syarif hidayatullah ke wilayah Cirebon untul mengatasi masalah yang ada setelah kembali dari kesultanan Pasai.
Dalam hal perluasan wilayah kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah banyak dibantu oleh Tubagus Pasai yang kemudian dapat mengambil alih kekuasaan di Sunda Kelapa yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Hindhu (Pakuan) dan protugis.

8. Raden Said (Sunan Kalijaga)
Wayang yang kini dikenal masyarakat adalah salah satu peninggalan sejarah dari Sunan Kalijaga atau Raden Said. Raden Said adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Dalam hal belajar Raden Said menjadi murid dari Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Raden Said diperkirakan lahir pada tahun 1450, sedang sebutan lain dari Raden Said antara lain dikenal dengana Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Masa hidup Raden Said diperkirakan mencapai hingga lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa masa-masanya melalui masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Sedang yang kemudian menjadi istri Raden Said adalah Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, yang kemudian mempunyai tiga putra: Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah.
Raden Said sendiri pada awalnya dikenal sebagai perampok dan pencuri dari orang-orang yang kaya, salah satunya tidak luput adalah gudang milik keluarganya yang hendak dikirimkan kepada kerajaan Majapahit. Tentu saja ini membuat kadipatenan geram atas ulahnya, terlebih lagi setelah mendapatkan berita bahwa Raden Said terlibat pemerkosaan. Pada kasus tersebut, Raden Said adalah seorang yang telah berada di tempat dan waktu yang salah, yaitu pencuri lainnya yang hendak meniru perbuatan Raden Said dengan tanpa diketahui perbuatannya. Sedang Raden Said dalam hal perampokan adalah agar rakyatnya tidak terbelenggu kemiskinan.
Meski demikian, dengan adanya bukti kesalahan terhadap Raden Said, dia kemdudian diusir oleh kadipaten. Dengan pengusiran tersebut, Raden said kemudian bertemu dengan Raden Makdum Ibrahim. Tentu saja niatan untuk membantu rakyatnya masih ada, yaitu hendak pula meminta tongkat pada Raden Makdum Ibrahim guna diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Melihat keinginan Raden Said yang mulia, membuat Raden Makdum Ibrahim kecewa akan sikapnya, yaitu meski mulia namun cara tersebut adalah salah dalam Islam. Setelah mengetahui keutamaan Raden Makdum Ibrahim, Raden Said pun kemudian ingin menimba ilmu padanya. Hanya saja, Raden Makdum Ibrahim yang saat itu ingin menguji kesetiaan Raden Said, meminta kepada Raden Said agar menjaga tongkatnya hingga sekembalinya.
Raden Makdum Ibrahim lupa akan janjinya untuk kembali kepada Raden Said yang menjaga tongkatnya. Di sisi lain, Raden Said setia menunggu Raden Makdum Ibrahim di tepi sungai. Itu sebab, Raden Said kemudian juga dikenal sebagai Sunan Kalijaga yang dalam bahasa Jawa berarti sunan yang menjaga kali.
Dalam hal berdakwah, Raden Said memiliki kesamaan dengan guru yang sekaligus menjadi sahabat dekatnya, Raden Makdum Ibrahim. Sedang paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Raden Said menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk (Lir-ilir dan Gundul-Gundul Pacul dianggap sebagai hasil karyanya).
Raden Said sangat toleran pada hal kebudayaan setempat. Dengan jalan melalui seni dan kebudayaan, Raden Said berharap tidak membuat hal yang salah, sedang jalan tersebut dianggap sebagai jalan yang efisien. Raden Said berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Tidak mengherankan, ajaran Raden Said terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dalam dunia perwayangan, Raden Said sering melakonkan carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja). Selain hal tersebut, Raden Said juga menggagas adanya baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud.
Meski pada dasarnya jalan yang dilalui oleh Raden Said cenderung mendapat perlawanan dari para wali lainnya, metode dakwah tersebut malah sangat efektif. Hal ini terbukti dengan sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Raden Said, di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang. Dalam hal peninggalan yang lainnya, Raden Said terlibat pula dalam merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Sedang salah satu tiang dari Masjid Agung Demak sendiri terdapat tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Raden Umar Said atau yang sering dikenal sebagai Sunan Muria adalah putra Raden Said (Sunan Kalijaga) juga merupakan cucu dari Raden Usman Haji (Sunan Ngudung). Sedang daerah yang kemudian menjadi daerah penyebarannya adalah Gunung Muria.
Raden Umar Said, selain mendapatkan ajaran Islam dari bapaknya, juga berguru pada Ki Ageng Ngerang. Dalam usahanya mengajarkan Islam, Raden Umar Said tidak jauh berbeda dengan Raden Said yang juga menggunakan kesenian adat daerah. Salah satu peninggalannya dalam bidang kesenian adalah penciptaan gemelan gending sinom dan kinanti.
Diceritakan bahwa saat Ki Ageng Ngerang mengadakan acara, seluruh murid dan mantan muridnya kembali dikumpulkan, tidak luput juga Raden Umar Said dan Adipati Pathak Warak menghadiri acara tersebut. Pada acara tersebut, salah seorang putri Ki Ageng Ngerang, Dewi Roroyono pada akhirnya diculik oleh Adipati Pathak Warak yang tergoda akan kecantikannya. Lantaran dengan kejadian tersebut, membuat Raden Umar Said mencoba membantu gurunya tersebut sehingga pada akhirnya, Dewi Roroyono pun dapat diselamatkan. Setelah dapat diselamatkan, Dewi Roroyono pun kemudian dinikahkan oleh bapaknya kepada Raden Umar Said.

10. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
Kyai Bah Tong, yang masih merupakan keturunan Tiongkok ini merupakan kakek dari Raden Patah. Dengan pelafalan dan logat masyarakat Jawa yang saat itu tidak begitu paham dengan pelafalan huruf China, membuat nama Bah Tong pun seperti “Bentong”, itu sebabnya namanya kemudian dikenal sebagai Sunan Bentong. Kyai Bah Tong masuk ke Jawa juga melakukan hal yang sama yaitu melalui perdagangan, dia pun juga menyebarkan agama Islam. Sedang daerah penyebaran Islamnya melalui Lasem.

11. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa Raden Rahmad sebenarnya memiliki darah Tionghoa, yaitu berasal dari Tiongkok. Sedang nama Raden Rahmad menurut sejarah masuknya Islam dari Tionghoa adalah Bong Swi Hoo.
Saat Raden Rahmad datang ke Jawa, dia juga ditemani oleh sepupunya yang bernama Raden Burereh atau Abu Hurairah. Saat menyebarkan Islam, Raden Burereh kemudian bertempat di Majagung dan kemudian menjadi tokoh Islam besar di sana. Itu sebabnya, Raden Burereh juga dikenal sebagai Pangeran Majagung.

12. Raden Hasan/Raden Fatah (Pangeran Bintara)
Dalam susunan kerajaan Majapahit, Raden Hasan adalah seorang keturunan raja Majapahit dan raja Palembang, Arya Damar. Sedang dalam susunan kerajaan Majapahit, Raden Hasan merupakan putra dari Raden Alit (Prabu Brawijaya) bin Bra Tanjung bin Lembu Amisani bin Hayam Wuruk. Sedang dalam susunan kerajaan Palembang, Raden Hasan merupakan anak dari istri Raden Alit yang kedua (berasal dari China) yang kemudian diperistri Arya Damar sewaktu mengandung Raden Hasan. Singkatnya, Raden Hasan adalah anak tiri dari Arya Damar.
Dalam kisah percintaan Raden Alit, telah menikah dengan putri raja Champa (kakak dari istri Maulana Malik Ibrahim) dan putri China. Hanya saja, dalam pernikahan tersebut, putri raja Champa (istri pertama Raden Alit) pun merasa cemburu dan meminta Raden Alit untuk mengembalikannya ke asalnya, China. Meski menyanggupinya, Raden Alit ternyata lebih memilih Patih Gajah Mada untuk menyerahkan putri China tersebut kepada Arya Damar (sebelumnya bernama Jaka Dilah yang karena pengabdian pada Majapahit, Jaka Dilah diangkat kedudukannya menjadi raja di Palembang dengan gelar Arya Damar).
Dalam perjalanannya, Patih Gajah Mada bertemu dengan Arya Damar di Gresik. Dan saat pertemuan tersebut, Patih Gajah Mada kemudian menyampaikan maksudnya, yaitu melaksanakan perintah raja serta menyerahkan surat yang berisi tentang keadaan istri keduanya yang telah mengandung, namun Raden Alit meminta Arya Damar bersedia menerima putri China tersebut untuk diperistri, sedang putir China tersebut tidak boleh digauli sebelum bayi dalam kandungannya dilahirkan.
Dalam usianya yang terbilang dewasa, Raden Hasan atau Raden Fatah (al Fatah) diminta oleh ayah tirinya, Arya Damar guna menggantikan posisinya sebagai raja di Palembang, sedang di sisi lain, Raden Hasan dengan Raden Husen (anak kandung dari Arya Damar, seibu dengan Raden Hasan) memilih untuk meninggalkan Palembang dan menuju Jawa. Raden Hasan dan Raden Husen kemudian belajar agama pada Raden Rahmad (Sunan Ampel). Bahkan dalam pernikahannya pun, Raden Hasan Kemudian menikah dengan putri Raden Rahmad, Dewi Murthasimah.
Dalam menyebarkan Islam secara besar-besaran di tanah Jawa, Raden Rahmad kemudian membagi-bagi wilayah pada murid-muridnya, termasuk Raden Hasan dan Raden Husen. Raden Hasan kemudian ditempatkan di wilayah Lasem guna berdakwah menggantikan kakeknya, Syekh Bah Tong (Syekh Bentong). Sedang penyebaran Islamnya berpusat di Bintara. Itu sebabnya, Raden Hasan kemudian dikenal pula dengan sebutan Pangeran Bintara. Sedang Raden Husen di tempatkan di ibukota Majapahit. Oleh Prabu Brawijaya Kertabumi, Raden Husen kemudian dijadikan sebagai abdi kerajaan dan mendapat gelar Adipati Terung. Daerah Bintara inilah yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan Negara Islam Demak.
Raden Fatah berhasil merubah Bintara yang asalnya hutan belantara yang tumbuh pohon yang wangi sehingga dikenal dengan pedukuhan Glagahwangi Bintara menjadi kawasan yang ramai dan terkenal. Letaknya geografisnya yang sangat menguntungkan untuk perdagangan dan pertanian. Dari hutan belantara berubah menjadi gudang padi dan kota pelabuhan yang berdatangan kapal-kapal dagang yang berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku. Bintara Demak juga menjadi penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur.
Dengan adanya penyebaran Islam oleh Raden Hasan, membuat Prabu Brawijaya Kertabumi menjadi senang akan adanya Raden Hasan dengan pengikutnya yang banyak, terlebih lagi merupakan saudara dari Raden Husen yang telah diangkatnya menjadi Adipati Terung. Itu sebab, Raden Hasan kemudian diangkat pula sebagai Adipati Bintara dan diakui pula sebagai anak dari Prabu Brawijaya Kertabumi. Selanjutnya Raden Fatah kembali ke pedukuhan Bintara yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Demak dengan membawa satu laksa abdi (10.000 tentara), serta di beri gajah, kapal, tandu, dan pedati.

13. Raden Usman Haji (Sunan Ngudung)
Sunan Ngudung sering pula disebut-sebut sebagai anggota wali songo. Nama aslinya adalah Raden Usman Haji, putra dari Maulana Malik Ibrahim yang juga sebagai kakak dari Raden Rahmad. Dalam kehidupannya, Raden Usman Haji menikah dengan Siti Syariah (Syarifah) binti Raden Rahmad. Sedang dari perkawinan tersebut kemudian lahir Raden Amir Haji, yang kemudian juga dikenal dengan nama Jakfar Shadiq (Sunan Kudus).
Pada pemerintahan Sultan Trenggana, Raden Usman Haji diangkat sebagai imam Masjid Demak menggantikan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) pada tahun 1520. Selain tersebut, Raden Usman Haji juga dijadikan pula sebagai panglima perang di kesultanan Demak melawan kerajaan Majapahit.
Dalam peperangan tersebut, Raden Usman Haji menghadapi musuh yang dipimpin oleh Raden Husen (adipati Terung, sebuah wilayah yang terletak di dekat Krian, Sidoarjo). Saat memimpin perang, Raden Usman Haji mengenakan baju pusaka yang diperoleh dari Raden Qosim (Sunan Kalijaga) yang (menurut cerita) merupakan baju perang yang bernama Kyai Antakusuma (sekarang disebut Kyai Gondil) milik Nabi Muhammad. Namun demikian, Raden Usman kemudian menjadi lengah dan akhirnya kalah melawan Raden Kusen.

14. Syekh Suta Maharaja
Semasa Raden Rahmad menyebarkan Islam melalui murid-muridnya di seluruh pelosok Nusantara. Wilayah Islam di Nusantara (Indonesia) pun kemudian semakin meluas. Hanya saja, di wilayah Pajang tidak terjadi perubahan, sedang yang menempati wilayah tersebut adalah Syekh Suta Maharaja.

15. Raden Hamzah (Pangeran Tumapel)
Menurut cerita tradisi, Raden Hamzah juga merupakan keturunan dari Raden Rahmad (Sunan Ampel). Raden Hamzah kemudian menuju wilayah Tumapel setelah dipilih Raden Rahmad guna menyebarkan Islam. Di Tumapel, Raden Hamzah kemudian memiliki gelar baru yaitu Pangeran Tumapel. Selain terbilang muda, Raden Hamzah juga gigij dalam menyebarkan Islam. Itu sebab, Raden Hamzah juga dikenal sebagai anggota wali bersama para anggotanya yang bersamaan dikirim oleh Raden Rahmad ke berbagai wilayah di tanah Jawa.

16. Raden Mahmud (Pangeran Kahuripan)
Raden Mahmud (dalam cerita Babad disebut Syekh Mahmud) ditempatkan di sepanjang Kahuripan dengan gelar Pangeran Kahuripan.

17. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
Pada dasarnya, Syekh Siti Djenar tidak dimasukkan dalam susunan Wali Songo lantaran sikapnya yang dinilai murtad oleh sebagai banyak wali yang ada di Indonesia. Namun demikian, dengan Syekh Siti Djenar adalah seorang yang juga mengamalkan Islam di Indonesia (Nusantara). Bahkan tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa Syekh Siti Djenar adalah bukan sesat lantaran dianggap sebagai pembawa ajaran Sufi di Indonesia.
Syekh Siti Djenar yang juga dikenal sebagai Sitibrit atau Lemahbang atau Lemah Abang adalah seorang tokoh tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usulnya. Sedang anggapan sesat pada diri Syekh Siti Djenar ini dengan menganggap ajarannya yaitu “Manunggaling Kawula Gusti”.
Dalam hal penyebaran Islam oleh Syekh Siti Djenar, adalah ketika kerajaan Demak dalam kejayaannya. Tentu saja Raden Patah yang ketika itu telah memeluk Islam, menjadikan para wali lainnya menganggap Syekh Siti Djenar adalah sesat. Meski pada dasarnya para pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Djenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan, ajaran ini lebih diartikan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan bukan dianggap sebagai bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya. Hanya saja, dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Bahkan Syekh Siti Djenar pun menganggap ajaran Syariat yang di bawa oleh para wali lainnya adalah tidak spenuhnya mengingat kepada Tuhannya lantaran dalam beribadah masih memikirkan hal keduniawian. Berbeda dengan ajaran Syekh Siti Djenar yang berdzikir dengan sepenuh hati yang yang dapat menghadirkan Allah Swt. Mengingat bahaya akan ajaran Syekh Siti Djenar, para wali pun kemudian merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Djenar agar segera menghadap Demak Bintoro.
Perbedaan pendapat akan tata cara beribadah antara Syekh Siti Djenar dengan para wali lainnya adalah terlihat jelas dalam penyebutan nama Tuhan. Para wali yang mengajarkan Islam dengan Tuhannya yaitu Allah Swt., tidak demikian dengan Syekh Siti Djenar. Syekh Siti Djenar lebih menekankan adanya zikir dan wirid lebih utama ketimbang menyebut “Allah” hanya di bibir saja. Melihat ajaran Syekh Siti Djenar ini, para wali tidak menyalahkan, hanya saja para wali lebih menekankan agar ajaran ini tidak disampaikan terlebih dahulu lantaran takut akan penyelah tafsiran saja. Dalam ajaran Syekh Siti Djenar yang lainnya, memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut sebagai kematian adalah sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Dengan ajaran ini, tentu saja manusia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya). Lebih parahnya, Syekh Siti Djenar kemudian dijadikan sesat lantaran inti ajarannya adalah ketidak harusan manusia memenuhi rukun Islam. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan setelah kematiannya.
Mengingat kondisi manusia yang meski sebagai manusia sempurna, namun manusia sendiri juga dibatasi oleh kelemahan pemikiran. Dan apabial ilmu Syekh Siti Djenar diterapkan, kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha Agung atau Allah hanya akan menjadikan kufur saja. Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Djenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Dalam hal penghakiman terhadap Syekh Siti Djenar menjadi sebuah kisah yang menarik, yaitu sebuah kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Djenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Syekh Siti Djenar. Sedang dalam hal makam Jenazah Syekh Siti Djenar sendiri mendapatkan berbagai versi. Salah satu pendapat mengatakan bahwa jenazah Syekh Siti Djenar dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Sedang pendapat lain mengatakan bahwa jenazah Syekh Siti Djenar dimakamkan di Masjid Mantingan Jepara. Hanya saja, di makamnya disebutkan dengan menggunakan nama makam orang lain.