Sedikit share ya,, bagi2 pengetahuan,,, (^__^)
Islam di Indonesia sangat identik
dengan jejak penyebaran para tokoh Islam di Jawa yang kemudian disebut
dengan Wali Songo. Meski demikian, bukan berarti Islam baru dikenalkan
setelah para wali ini datang ke tanah Jawa. Sedang Islam sendiri
diketahui telah menyebar ke Indonesia melalui kerajaan Pasai (Sematera).
Hanya saja, Islam pada masa wali ini memiliki corak yang berbeda, yaitu
menjadikan Islam di Jawa memiliki dua pandangan, yaitu antara Islam
abangan dan Islam putihan.
Islam abangan inilah yang kemudian
menjadikan banyak masyarakat Jawa yang beraliran Hindhu-Budha menjadi
Islam. Hal ini dikarenakan dalam ajarannya, Islam abangan mengenalkan
ajarannya sesuai dengan apa yang disenangi masyrakatnya, yaitu seni dan
pewayangan. Sedang Islam putihan hanya tertuju pada ajaran Islam yang
tidak mengambil cara demikian.
Wali songo sendiri diyakini sebuah
majelis (organisasi) Islam saat itu dengan anggotanya yang berjumlah
hingga sembilan orang, sedang pendirinya adalah Raden Rahmad (Sunan
Ampel). Pendapat lain menyebutkan bahwa kata “songo” berasal dari kata
“tsana” yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi
menyebut kata “sana” berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Hanya saja wali songo dikenal sebagian besar masyarakat dikarenakan
masa-masa tersebutlah Islam kemudian menjadi semakin luas, yaitu tidak
hanya melalui perdagangan dan dakwah, melainkan pula melalui kesenian
tradisional masing-masing masyarakat Jawa. Selain tersebut, para wali
ini juga dapat digunakan sebagai symbol kebesaran Islam dalam Indonesia,
terutama di Jawa. Berikut adalah susunan wali songo yang menjadi
perdebatan diantara kalangan umum saat ini.
Pendapat pertama, yaitu yang menyebutkan wali songo sebagai majelis Islam adalah terdiri dari:
1. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
2. Raden Hasan (Pangeran Bintara)
3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
4. Raden Qasim (Sunan Drajat)
5. Utsman Haji (Sunan Ngudung)
6. Raden Paku (Sunan Giri)
7. Syekh Suta Maharaja
8. Raden Hamzah (Pangeran Tumapel)
9. Raden Mahmud
Sedang pendapat berikutnya, yaitu kebanyakan datang dari kalangan Jawa Timur beranggapan bahwa wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
4. Raden Qasim (Sunan Drajat)
5. Raden Paku (Sunan Giri)
6. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
7. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
8. Raden Said (Sunan Kalijaga)
9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Pendapat yang lainnya, yang kebanyakan diyakini dari kalangan Jawa Tengah, yaitu wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
3. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
4. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
5. Raden Qasim (Sunan Drajat)
6. Raden Paku (Sunan Giri)
7. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
8. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
9. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
Sedang di Jawa Barat, terdapat pendapat yang lainnya pula, yaitu wali songo terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
2. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
3. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
4. Raden Rahmat (Sunan Ampel)
5. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
6. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
7. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
8. Raden Paku (Sunan Giri)
9. Raden Said (Sunan Kalijaga)
Dengan
beragamnya nama-nama dalam susunan wali songo, adalah tidak menjadi
masalah karena yang telah para wali ini memiliki jasa yang besar dalam
penyebaran Islam.
1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Dalam
penyebutan nama Maulana Malik Ibrahim adalah sangat banyak dalam
susunan wali songo meski banyak pula yang tidak memasukkannya. Maulana
Malik Ibrahim juga diyakini salah satu keturunan Nabi Muhammad dari
Husain bin Ali dan dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam
di Jawa. Maulana Malik Ibrahim memiliki banyak nama sebutan,
diantaranya dikenal sebagai Sunan Gresik, Syekh Maghribi, Makhdum
Ibrahim as Samarqandy, dan atau Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim
diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah pada paruh awal abad ke-14.
Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal
dari Persia. Berikut adalah silsilah Maulana Malik Ibrahim hingga Nabi
Muhammad, yaitu putra dari Zainal Alam Barakat (Barokah Zainul Alam) bin
Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin
Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats
Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin
Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al
Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal
Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada awal penyebaran
Islamnya, Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq berpisah
setelah datang di pulau Jawa. Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai,
sedang Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan
Maulana
Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa selama tiga belas tahun. Di
sana Maulana Malik Ibrahim menikahi putri raja yang memberinya dua
putra; yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha atau
Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia
hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya.
Daerah yang
ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran,
Kecamatan Manyar (9 kilometer ke arah utara kota Gresik). Dalam
dakwahnya, Maulana Malik Ibrahim kemudian mendirikan mesjid pertama di
desa Pasucinan, Manyar.
Dengan maraknya perdagangan yang melibatkan
masyarakat banyak, termasuk raja dan para bangsawan, pemilik kapal atau
pemodal, Maulana Malik Ibrahim pun melakukan usaha berdagang. Sedang
daerah yang dipilihnya adalah di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang
dinamakan desa Roomo, Manyar. Selain dalam hal berdagang, Maulana Malik
Ibrahim juga melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan guna
mengajak raja Majapahit masuk dalam Islam. Hanya saja, raja Majapahit
tidak masuk Islam. Meski demikian, dia menerimanya dengan baik dan
bahkan memberikan sebidang tanah di pinggiran kota Gresik kepada Maulana
Malik Ibrahim. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa
Gapura.
Dalam hal penebaran Islam, Maulana Malik Ibrahim juga
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan sering mengobati
masyarakat sekitar tanpa biaya. Itu sebabnya, ajaran Islam yang dibawa
Maulana Malik Ibrahim dengan cepat memasyarakat. Setelah selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419,
Maulana Malik Ibrahim kemudian wafat dan kini makamnya dapat ditemui di
desa Gapura Wetan, Gresik-Jawa Timur.
2. Raden Rahmad (Sunan Ampel)
Maulana
Malik Ibrahim setelah menikahi putri Champa, telah meninggalkan dua
anaknya, yaitu Sayyid Ahmad Rahmatillah dan Sayid Ali Murtadha. Sayyid
Ahmad Rahmatillah inilah ketika dewasa menyusul Maulana Malik Ibrahim ke
tanah Jawa yang kemudian dikenal dengan Raden Rahmad pada tahun 1443.
Dalam penyebaran Islamnya, Raden Rahmad kemudian memilih Ampel Denta,
Surabaya sebagai pijakan pertamanya. Itu sebab, Raden Rahmad kemudian
disebut pula Sunan Ampel dan dianggap sebagai sesepuh oleh para wali
lainnya.
Lantaran sebagai putra Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmad
pun juga keturunan Nabi Muhammad, sedang namanya adalah Sayyid Ahmad
Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim bin Zainal Alam Barakat bin
Jamaluddin Akbar al Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin
Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi ats
Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidullah bin
Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib bin Ali al
Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal
Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Raden Rahmad termasuk
seorang yang mulia, ini dikarenakan bahwa pendirian majelis ulama
pertama kali adalah berkat usahanya, yaitu yang sekarang dikenal sebagai
wali songo. Sedang pendirian majelis ini adalah guna menyebarkan Islam
secara menyeluruh hingga pelosok Nusantara (Indonesia). Majelis wali
songo inilah yang kemudian masih dalam perdebatan hingga kini, yaitu
tentang siapa anggotanya dan kebenaran keberadaan majelis ini. Sedang
Raden Rahmad sendiri membagi wilayah penyebaran Islam kepada seluruh
murid-muridnya yang dinyatakan telah siap. Itu sebab, Raden Rahmad yang
dijuluki sebagai Sunan Ampel kemudian menjadikan Ampel sebagai pusat
dari penyebaran Islam saat itu.
Diantara banyak murid Raden Rahmad
adalah keturunannya sendiri yang kemudian juga termasuk dalam susunan
wali songo. Diantaranya adalah:
1. Dari pernikahannya dengan Dewi
Candrawati, seorang putri dari kerajaan Majapahit. Sedang beberapa
sejarah mengarah bahwa istri Raden Rahmad tersebut adalah Nyai Ageng
Manila, putri dari Adipati Tuban (Arya Teja).
a. Raden Makdum Ibrahim, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bonang.
b. Raden Qasim Syarifudin, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat.
c. Raden Rahmad, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Lamongan.
d. Nyai Ageng Maloka (Siti Muthmainah), yang kemudian menjadi istri dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
e.
Siti Syariah (Syarifah), yang kemudian menjadi menjadi istri dari Raden
Usman Haji atau Sunan Ngudung. Sedang keturunannya kemudian dikenal
sebagai Sunan Kudus (Raden Jakfar Shadiq).
f. Siti Khafshah, yang kemudian menjadi istri dari Raden Said (Sunan Kalijaga).
2.
Dari pernikahannya dengan Siti Karimah, seorang putri dari Ki Ageng
Supa yang juga merupakan murid Raden Rahmad yang kemudian dikenal dengan
sebutan Sunan Bungkul.
a. Dewi Murthasiah, yang kemudian menjadi menjadi istri pertama dari Raden Paku atau Sunan Giri.
b. Dewi Murthasimah, yang kemudian menjadi istri dari Raden Hasan (Raden Patah/Sultan Demak).
Selama
dalam penyebaran Islamnya, Raden Rahmad berhasil membangun sebuah
masjid di Demak pada tahun 1479 yang kemudian dikenal dengan Mesjid
Agung Demak. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Dari
pasangan Raden Rahmad dan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila) inilah
Raden Makdum Ibrahim dilahirkan. Dalam dakwahnya, Raden Makdum Ibrahim
menggunakan kesenian sebagai media pengenalan pengamalan dari agama
Islam terhadap masyarakatnya. Salah satu kesenian yang dikaryakannya dan
hingga kini masih dikenal adalah tembang “tombo ati” dan rabab dalam
gamelan. Sedang daerah yang menjadi siar Islamnya adalah Bonang,
kabupaten Rembang.
Raden Makdum Ibrahim dilahirkan sekitar tahun
1465. Sedang kematiannya adalah sekitar tahun 1525. Sedang kematiannya
adalah sebuah keajaiban, yaitu terdapat dua makam di tempat yang
berbeda, antara Tuban dan Bawean. Raden Makdum Ibrahim sendiri meninggal
di Bawean, sedang muridnya yang berasal dari Tuban mengetahui perihal
kematian Raden Makdum Ibrahim kemudian segera menjemput dan berniat
membawa jenazah Raden Makdum Ibrahim ke Tuban, sedang yang berhasil
dibawa oleh para muridnya hanya pakaian dan kain kafannya saja. Sedang
data lain menyebutkan bahwa yang memperebutkan jenazah Raden Makdum
Ibrahim dari bawean tersebut adalah murinnya yang berasal dari Madura.
Hanya saja, di tengah perjalanan, jenazah Raden Makdum Ibrahim kemudian
dapat diambil oleh para murid lainnya yang berasal dari Tuban.
Bagaimanapun
sejarah tersebut menyebutkan, kini makam Raden Makdum Ibrahim terdapat
di dua tempat, yaitu Bawean dan Tuban. Sedang yang sering dikunjungi
sebagai ziarah para wali adalah di Tuban. Kebenaran akan kedua makam
tersebut adalah dari kejadian yang meninggalkan masing-masing diantara
jenazah tersebut adalah masing-masing mengenakan selembar kain kafan.
Sedang jenazahnya yang sebelum diperebutkan mengenakan dua lembar kain
kafan.
4. Raden Qasim Syarifudin (Sunan Drajat)
Setelah
Raden Makdum Ibrahim dilahirkan, Raden Rahmad dan Dewi Candrawati (Nyai
Ageng Manila) kemudian diberikan keturunan kembalai, yaitu Raden Qasim
Syarifudin. Dalam dakwahnya, Raden Qasim syarifudin menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat,
sebagai pengamalan dari agama Islam.
Raden Qasim Syarifudin
diperkirakan dilahirkan pada tahun 1470. Sedang daerah yang menjadi
dakwahnya adalah desa Drajat, Paciran-Lamongan. Itu sebab Raden Qasim
Syarifudin juga dikenal sebagai Sunan Drajat. Daerah yang dijadikan
dakwahnya adalah daerah pemberian Raden Patah, kerajaan Demak. Setelah
memberikan daerah tersebut dan menilai Raden Qasim Syarifudin telah
berhasil membangun akhlak dan ekonomi daerahnya, Raden Patah kemudian
menyebutnya sebagai Sunan Mayang Madu pada tahun saka 1442 atau
bertepatan dengan tahun 1520.
Seperti saudaranya, Raden Qasim
Syarifudin juga menggunakan kesenian sebagai media dakwahnya. Hal ini
dapat diketahui dengan peninggalannya yang berupa tembang “macapat
pangkur” dan gamelan Singomengkok yang kini masih ada peninggalannya di
Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan ayng telah diresmikan oleh Gubernur
Jawa Timur pada 1 Maret 1992.
Raden Qasim Syarifudin diperkirakan
wafat pada tahun 1522. Sedang dalam kompleks makamnya terdapat tujuh
filosofi yang telah diajarkan meluas di masyarakatnya. Diantara ketujuh
filosofi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3.
Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam
perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan
segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5.
Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh
keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita -
cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7.
Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang
luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang
wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai,
Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan
pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang
menderita)
5. Raden Paku (Sunan Giri)
Kelahiran
Raden Paku atau Raden ‘Ainul Yaqin dengan tanpa kehadiran bapaknya
disampingnya. Hal ini lantaran Maulana Ishaq, bapaknya memilih berhijrah
ke kerajaan Pasai dua bulan sebelum kelahirannya. Sedang kepergian ini
diaksudkan demi keselamatan Raden Paku dari keganasan Patih Bajul
Seggara yang memang menginginkan kematian Maulana Ishaq.
Pada
dewasanya, Raden Paku pun lebih memilih dibuang oleh ibunya, Dewi
Sekardadu juga demi keselamatan Raden Paku dari percobaan pembunuhan
akibat hasutan Patih Bajul Senggara kepada sultan Blambangan, yang
merupakan kakek Raden Paku. Dalam pembuangan Raden Paku tersebut, Raden
Paku dibuang melalui lautan yang kemudian ditemukan oleh pelaut yang
hendak berdagang di Jawa atas perintah Nyai Gede Pinatih. Melihat sebuah
kotak di lautan bebas, pelaut tersebut kemudian menyerahkan kotak
tersebut beserta isinya yang berisi bayi kepada Nyai Gede Pinantih.
Karena
bayi tersebut ditemukan di lautan bebas, Raden Paku pun kemudian
dinamai sebagai Jaka Samudra. Nyai Gede Pinantih kemudian mengirim Jaka
Samudra ke Ampeldenta guna mendalami Islam. Sedang berita pembuangan
Raden Paku ke lautan pun akhirnya terdengar oleh Maulana Ishak. Dan
berita adanya Raden Paku di tangan Nayai Gede Pinantih pun terdengar
hingga pengirimannya ke Ampeldenta. Itu sebab, Maulana Ishaq kemudian
menaruh pesan kepada Raden Rahmad (Sunan Ampel) yang merupakan anak dari
kakaknya, Maulana Malik Ibrahim agar kembali menamainya sebagai Raden
Paku dan segera memberitakan kebenaran silsilahnya.
Adapun Raden Paku
selain dikenal sebagai Raden ‘Ainul Yaqin, beberapa nama lainnya juga
dikenal sebagai Prabu Satmata dan Sultan Abdul Faqih. Sedang silsilah
keluarganya adalah Raden Paku putra dari Maulana Ishaq bin Zainal Alam
Barakat bin Jamaluddin Akbar al Husaini (Jumadil Qubro) bin Ahmad Syah
Jalal (Jalaluddin Khan) bin Abdullah (al Azhamat) Khan bin Abdul Malik
(Ahmad Khan) bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khali’ Qasam bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi
Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad
al Naqib bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi
Muhammad).
Dalam mendalami ajaran Islam di Ampeldenta, Jaka Samudra
berahabat dengan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), anak Raden Rahmad.
Lantaran Jaka Samudra telah cukup mendalami Islam, Jaka Samudra
kemudian menemui Maulana Ishaq bersama Raden Makdum Ibrahim ke kerajaan
Pasai.
Setelah bertemu dengan Maulana Ishak, Raden Paku kemudian
mendirikan sebuah pesantrenan yang kemudian dinamakan Pesantren Giri di
sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Sejak itulah, ia dikenal
masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi
terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa,
bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil
yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama
beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Seperti Raden Makdum Ibrahim, Raden Paku juga mengajrkan kesenian yang
hingga kini dapat ditemui, diantaranya yaitu permainan-permainan anak
seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending
(lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
6. Jakfar Shadiq (Sunan Kudus)
Sama
halnya wali-wali sebelumnya yang juga merupakan satu keturunan dengan
Nabi Muhammad, juga terjadi pada Jakfar Shadiq (Raden Amir Haji). Hanya
saja silsilah keturunan ini berasal dari ibunya yang merupakan anak dari
Raden Rahmad, Siti Syariah (Syarifah). Sedang bapaknya sendiri juga
dipercaya sebagai salah satu wali songo, Raden Usman Haji (Sunan
Ngudung). Jakfar Shadiq sendiri diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sebagai
salah seorang tokoh penyebar Islam, Jakfar Shadiq memiliki peran yang
besar dalam pemerintahan kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang
dan hakim peradilan negara. Dengan adanya jabatan yang diperolehnya
tersebut, maka dengan mudah berdakwah di kalangan kaum penguasa dan
priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sultan
Prawoto (penguasa Demak) dan Arya Penangsang (adipati Jipang Panolan).
Dalam
hal kesultanan, Jakfar Shadiq adalah seorang yang berhasil menumbangkan
kadipaten Pengging yang juga merupakan kekuasaan kesultanan Demak.
Disebutkan bahwa kadipaten ini telah dikuasai seorang murid dari Syekh
Siti Djenar yang dianggap bias. Dalam perlawanan terhadap kadipaten
Pengging, Jakfar Shadiq tidak terlalu banyak mengalami kesulitan
lantaran pimpinan kadipaten Pengging, Ki Ageng Penggeng sendiri telah
menyerahkan nyawanya. Hingga akhirnya, kadipaten Pengging pun kemudian
kembali pada kesultanan Demak.
Selain hal tersebut, Islam di tangan
Jakfar Shadiq terbilang sangat mudah lantaran Jakfar Shadiq sendiri
seorang yang selalu menghargai masyarakat dan budayanya. Salah satu
peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus yang
arsitekturnya bergaya campuran antara Hindu dan Islam. Sehingga
masyarakat hindhu saat itupun tidak merasa ditindas dan mengenal Islam
yang saling menghormati. Selain itu, keunikan yang terjadi pun pada saat
Hari Raya Kurban, yaitu pengalihan hewan kurban dari sapi ke kerbau.
Hal ini tentu saja dilakukan lantaran menjaga ketersinggungan Hindhu
yang menganggap sapi adalah hewan suci.
Pada tahun 1530, Jakfar
Shadiq mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini
terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga
sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus,
Jawa Tengah. Masjid yang dibangun oelh Jakfar Shadiq ini di dasari oleh
batu yang sengaja diambil dari Baitul Maqdis setelah berhasil
menyelesaikan masalah yang menimpa kawasan Baitul Maqdis.
7. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Syarif
Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar 1450, namun ada juga yang
mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448. Nama Syarif
Hidayatullah sebenarnya adalah Syarif Hidayatullah al Khan bin Sayyid
‘Umadtuddin Abdullah al Khan bin Sayyid ‘Ali Nuruddin al Khan (Ali
Nuralam Akbar) bin Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar) bin Ahmad
Syah Jalal bin Abdullah (al-Azhamat) Khan bin Abdul Malik (Ahmad Khan)
bin Alwi Ammi al Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam
bin Alwi ats Tsani bin Muhammad Sahibus Saumiah bin Alwi Awwal bin
Ubaidullah bin Ahmad al Muhajir bin Isa ar Rummi bin Muhammad al Naqib
bin Ali al Uraidhi bin Ja’far ash Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Dalam hal silsilah
keluarganya, Syarif Hidayatullah bukan seorang yang biasa, lantaran dari
keturunan bapaknya manjadikan sebagai salah seorang juga keturunan Nabi
Muhammad, Syarif Hidayatullah juga merupakan keturunan kesultanan Sunda
yang berasal dari ibunya. Yaitu Rara Santang (Syarifah Muda’im) binti
Raden Pamanah Rasa (Prabu Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi II) bin Prabu
Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali) bin Niskala Wastu Kancana (Prabu
Siliwangi I) bin Prabu Linggabuana (Prabu Wangi).
Memasuki usia
dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari
bupati Banten yang bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau
mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin
yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Syarif Hidayatullah sangat erat
hubungannya dengan berdirinya kesultanan Cirebon. Yaitu sebagai pendiri
kesultanan Cirebon setelah kesultanan Demak mengalami perpecahan dari
masing-masing daerah yang ditaklukkannya. Sedang dalam hubungannya
dengan kesultanan Demak, Syarif Hidayatullah adalah seorang tata Negara
yang ahli di bidangnya, itu sebab, Patih Unus kemudian mengirim Syarif
hidayatullah ke wilayah Cirebon untul mengatasi masalah yang ada setelah
kembali dari kesultanan Pasai.
Dalam hal perluasan wilayah
kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah banyak dibantu oleh Tubagus
Pasai yang kemudian dapat mengambil alih kekuasaan di Sunda Kelapa yang
sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Hindhu (Pakuan) dan protugis.
8. Raden Said (Sunan Kalijaga)
Wayang
yang kini dikenal masyarakat adalah salah satu peninggalan sejarah dari
Sunan Kalijaga atau Raden Said. Raden Said adalah putra adipati Tuban
yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Dalam hal belajar
Raden Said menjadi murid dari Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Raden
Said diperkirakan lahir pada tahun 1450, sedang sebutan lain dari Raden
Said antara lain dikenal dengana Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran
Tuban, dan Raden Abdurrahman. Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa
Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih
ramai diziarahi orang.
Masa hidup Raden Said diperkirakan mencapai
hingga lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa masa-masanya melalui masa
akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan
Senopati. Sedang yang kemudian menjadi istri Raden Said adalah Dewi
Saroh binti Maulana Ishaq, yang kemudian mempunyai tiga putra: Raden
Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah.
Raden Said
sendiri pada awalnya dikenal sebagai perampok dan pencuri dari
orang-orang yang kaya, salah satunya tidak luput adalah gudang milik
keluarganya yang hendak dikirimkan kepada kerajaan Majapahit. Tentu saja
ini membuat kadipatenan geram atas ulahnya, terlebih lagi setelah
mendapatkan berita bahwa Raden Said terlibat pemerkosaan. Pada kasus
tersebut, Raden Said adalah seorang yang telah berada di tempat dan
waktu yang salah, yaitu pencuri lainnya yang hendak meniru perbuatan
Raden Said dengan tanpa diketahui perbuatannya. Sedang Raden Said dalam
hal perampokan adalah agar rakyatnya tidak terbelenggu kemiskinan.
Meski
demikian, dengan adanya bukti kesalahan terhadap Raden Said, dia
kemdudian diusir oleh kadipaten. Dengan pengusiran tersebut, Raden said
kemudian bertemu dengan Raden Makdum Ibrahim. Tentu saja niatan untuk
membantu rakyatnya masih ada, yaitu hendak pula meminta tongkat pada
Raden Makdum Ibrahim guna diberikan kepada yang lebih membutuhkan.
Melihat keinginan Raden Said yang mulia, membuat Raden Makdum Ibrahim
kecewa akan sikapnya, yaitu meski mulia namun cara tersebut adalah salah
dalam Islam. Setelah mengetahui keutamaan Raden Makdum Ibrahim, Raden
Said pun kemudian ingin menimba ilmu padanya. Hanya saja, Raden Makdum
Ibrahim yang saat itu ingin menguji kesetiaan Raden Said, meminta kepada
Raden Said agar menjaga tongkatnya hingga sekembalinya.
Raden Makdum
Ibrahim lupa akan janjinya untuk kembali kepada Raden Said yang menjaga
tongkatnya. Di sisi lain, Raden Said setia menunggu Raden Makdum
Ibrahim di tepi sungai. Itu sebab, Raden Said kemudian juga dikenal
sebagai Sunan Kalijaga yang dalam bahasa Jawa berarti sunan yang menjaga
kali.
Dalam hal berdakwah, Raden Said memiliki kesamaan dengan guru
yang sekaligus menjadi sahabat dekatnya, Raden Makdum Ibrahim. Sedang
paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf, bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Raden Said menggunakan kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang
kulit dan tembang suluk (Lir-ilir dan Gundul-Gundul Pacul dianggap
sebagai hasil karyanya).
Raden Said sangat toleran pada hal
kebudayaan setempat. Dengan jalan melalui seni dan kebudayaan, Raden
Said berharap tidak membuat hal yang salah, sedang jalan tersebut
dianggap sebagai jalan yang efisien. Raden Said berkeyakinan jika Islam
sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Tidak
mengherankan, ajaran Raden Said terkesan sinkretis dalam mengenalkan
Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai sarana dakwah. Dalam dunia perwayangan, Raden Said sering
melakonkan carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi
Raja). Selain hal tersebut, Raden Said juga menggagas adanya baju takwa,
perayaan sekatenan, garebeg maulud.
Meski pada dasarnya jalan yang
dilalui oleh Raden Said cenderung mendapat perlawanan dari para wali
lainnya, metode dakwah tersebut malah sangat efektif. Hal ini terbukti
dengan sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Raden Said,
di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas,
serta Pajang. Dalam hal peninggalan yang lainnya, Raden Said terlibat
pula dalam merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung
Demak. Sedang salah satu tiang dari Masjid Agung Demak sendiri terdapat
tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Raden
Umar Said atau yang sering dikenal sebagai Sunan Muria adalah putra
Raden Said (Sunan Kalijaga) juga merupakan cucu dari Raden Usman Haji
(Sunan Ngudung). Sedang daerah yang kemudian menjadi daerah
penyebarannya adalah Gunung Muria.
Raden Umar Said, selain
mendapatkan ajaran Islam dari bapaknya, juga berguru pada Ki Ageng
Ngerang. Dalam usahanya mengajarkan Islam, Raden Umar Said tidak jauh
berbeda dengan Raden Said yang juga menggunakan kesenian adat daerah.
Salah satu peninggalannya dalam bidang kesenian adalah penciptaan
gemelan gending sinom dan kinanti.
Diceritakan bahwa saat Ki Ageng
Ngerang mengadakan acara, seluruh murid dan mantan muridnya kembali
dikumpulkan, tidak luput juga Raden Umar Said dan Adipati Pathak Warak
menghadiri acara tersebut. Pada acara tersebut, salah seorang putri Ki
Ageng Ngerang, Dewi Roroyono pada akhirnya diculik oleh Adipati Pathak
Warak yang tergoda akan kecantikannya. Lantaran dengan kejadian
tersebut, membuat Raden Umar Said mencoba membantu gurunya tersebut
sehingga pada akhirnya, Dewi Roroyono pun dapat diselamatkan. Setelah
dapat diselamatkan, Dewi Roroyono pun kemudian dinikahkan oleh bapaknya
kepada Raden Umar Said.
10. Kyai Bah Tong (Sunan Bentong)
Kyai
Bah Tong, yang masih merupakan keturunan Tiongkok ini merupakan kakek
dari Raden Patah. Dengan pelafalan dan logat masyarakat Jawa yang saat
itu tidak begitu paham dengan pelafalan huruf China, membuat nama Bah
Tong pun seperti “Bentong”, itu sebabnya namanya kemudian dikenal
sebagai Sunan Bentong. Kyai Bah Tong masuk ke Jawa juga melakukan hal
yang sama yaitu melalui perdagangan, dia pun juga menyebarkan agama
Islam. Sedang daerah penyebaran Islamnya melalui Lasem.
11. Raden Burereh (Pangeran Majagung)
Sebagian
ahli sejarah mengatakan bahwa Raden Rahmad sebenarnya memiliki darah
Tionghoa, yaitu berasal dari Tiongkok. Sedang nama Raden Rahmad menurut
sejarah masuknya Islam dari Tionghoa adalah Bong Swi Hoo.
Saat Raden
Rahmad datang ke Jawa, dia juga ditemani oleh sepupunya yang bernama
Raden Burereh atau Abu Hurairah. Saat menyebarkan Islam, Raden Burereh
kemudian bertempat di Majagung dan kemudian menjadi tokoh Islam besar di
sana. Itu sebabnya, Raden Burereh juga dikenal sebagai Pangeran
Majagung.
12. Raden Hasan/Raden Fatah (Pangeran Bintara)
Dalam
susunan kerajaan Majapahit, Raden Hasan adalah seorang keturunan raja
Majapahit dan raja Palembang, Arya Damar. Sedang dalam susunan kerajaan
Majapahit, Raden Hasan merupakan putra dari Raden Alit (Prabu Brawijaya)
bin Bra Tanjung bin Lembu Amisani bin Hayam Wuruk. Sedang dalam susunan
kerajaan Palembang, Raden Hasan merupakan anak dari istri Raden Alit
yang kedua (berasal dari China) yang kemudian diperistri Arya Damar
sewaktu mengandung Raden Hasan. Singkatnya, Raden Hasan adalah anak tiri
dari Arya Damar.
Dalam kisah percintaan Raden Alit, telah menikah
dengan putri raja Champa (kakak dari istri Maulana Malik Ibrahim) dan
putri China. Hanya saja, dalam pernikahan tersebut, putri raja Champa
(istri pertama Raden Alit) pun merasa cemburu dan meminta Raden Alit
untuk mengembalikannya ke asalnya, China. Meski menyanggupinya, Raden
Alit ternyata lebih memilih Patih Gajah Mada untuk menyerahkan putri
China tersebut kepada Arya Damar (sebelumnya bernama Jaka Dilah yang
karena pengabdian pada Majapahit, Jaka Dilah diangkat kedudukannya
menjadi raja di Palembang dengan gelar Arya Damar).
Dalam
perjalanannya, Patih Gajah Mada bertemu dengan Arya Damar di Gresik. Dan
saat pertemuan tersebut, Patih Gajah Mada kemudian menyampaikan
maksudnya, yaitu melaksanakan perintah raja serta menyerahkan surat yang
berisi tentang keadaan istri keduanya yang telah mengandung, namun
Raden Alit meminta Arya Damar bersedia menerima putri China tersebut
untuk diperistri, sedang putir China tersebut tidak boleh digauli
sebelum bayi dalam kandungannya dilahirkan.
Dalam usianya yang
terbilang dewasa, Raden Hasan atau Raden Fatah (al Fatah) diminta oleh
ayah tirinya, Arya Damar guna menggantikan posisinya sebagai raja di
Palembang, sedang di sisi lain, Raden Hasan dengan Raden Husen (anak
kandung dari Arya Damar, seibu dengan Raden Hasan) memilih untuk
meninggalkan Palembang dan menuju Jawa. Raden Hasan dan Raden Husen
kemudian belajar agama pada Raden Rahmad (Sunan Ampel). Bahkan dalam
pernikahannya pun, Raden Hasan Kemudian menikah dengan putri Raden
Rahmad, Dewi Murthasimah.
Dalam menyebarkan Islam secara
besar-besaran di tanah Jawa, Raden Rahmad kemudian membagi-bagi wilayah
pada murid-muridnya, termasuk Raden Hasan dan Raden Husen. Raden Hasan
kemudian ditempatkan di wilayah Lasem guna berdakwah menggantikan
kakeknya, Syekh Bah Tong (Syekh Bentong). Sedang penyebaran Islamnya
berpusat di Bintara. Itu sebabnya, Raden Hasan kemudian dikenal pula
dengan sebutan Pangeran Bintara. Sedang Raden Husen di tempatkan di
ibukota Majapahit. Oleh Prabu Brawijaya Kertabumi, Raden Husen kemudian
dijadikan sebagai abdi kerajaan dan mendapat gelar Adipati Terung.
Daerah Bintara inilah yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan Negara
Islam Demak.
Raden Fatah berhasil merubah Bintara yang asalnya hutan
belantara yang tumbuh pohon yang wangi sehingga dikenal dengan
pedukuhan Glagahwangi Bintara menjadi kawasan yang ramai dan terkenal.
Letaknya geografisnya yang sangat menguntungkan untuk perdagangan dan
pertanian. Dari hutan belantara berubah menjadi gudang padi dan kota
pelabuhan yang berdatangan kapal-kapal dagang yang berlayar lewat pantai
utara Jawa menuju Maluku. Bintara Demak juga menjadi penghubung antara
Jawa Tengah dengan Jawa Timur.
Dengan adanya penyebaran Islam oleh
Raden Hasan, membuat Prabu Brawijaya Kertabumi menjadi senang akan
adanya Raden Hasan dengan pengikutnya yang banyak, terlebih lagi
merupakan saudara dari Raden Husen yang telah diangkatnya menjadi
Adipati Terung. Itu sebab, Raden Hasan kemudian diangkat pula sebagai
Adipati Bintara dan diakui pula sebagai anak dari Prabu Brawijaya
Kertabumi. Selanjutnya Raden Fatah kembali ke pedukuhan Bintara yang
selanjutnya dikenal pula dengan nama Demak dengan membawa satu laksa
abdi (10.000 tentara), serta di beri gajah, kapal, tandu, dan pedati.
13. Raden Usman Haji (Sunan Ngudung)
Sunan
Ngudung sering pula disebut-sebut sebagai anggota wali songo. Nama
aslinya adalah Raden Usman Haji, putra dari Maulana Malik Ibrahim yang
juga sebagai kakak dari Raden Rahmad. Dalam kehidupannya, Raden Usman
Haji menikah dengan Siti Syariah (Syarifah) binti Raden Rahmad. Sedang
dari perkawinan tersebut kemudian lahir Raden Amir Haji, yang kemudian
juga dikenal dengan nama Jakfar Shadiq (Sunan Kudus).
Pada
pemerintahan Sultan Trenggana, Raden Usman Haji diangkat sebagai imam
Masjid Demak menggantikan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) pada tahun
1520. Selain tersebut, Raden Usman Haji juga dijadikan pula sebagai
panglima perang di kesultanan Demak melawan kerajaan Majapahit.
Dalam
peperangan tersebut, Raden Usman Haji menghadapi musuh yang dipimpin
oleh Raden Husen (adipati Terung, sebuah wilayah yang terletak di dekat
Krian, Sidoarjo). Saat memimpin perang, Raden Usman Haji mengenakan baju
pusaka yang diperoleh dari Raden Qosim (Sunan Kalijaga) yang (menurut
cerita) merupakan baju perang yang bernama Kyai Antakusuma (sekarang
disebut Kyai Gondil) milik Nabi Muhammad. Namun demikian, Raden Usman
kemudian menjadi lengah dan akhirnya kalah melawan Raden Kusen.
14. Syekh Suta Maharaja
Semasa
Raden Rahmad menyebarkan Islam melalui murid-muridnya di seluruh
pelosok Nusantara. Wilayah Islam di Nusantara (Indonesia) pun kemudian
semakin meluas. Hanya saja, di wilayah Pajang tidak terjadi perubahan,
sedang yang menempati wilayah tersebut adalah Syekh Suta Maharaja.
15. Raden Hamzah (Pangeran Tumapel)
Menurut
cerita tradisi, Raden Hamzah juga merupakan keturunan dari Raden Rahmad
(Sunan Ampel). Raden Hamzah kemudian menuju wilayah Tumapel setelah
dipilih Raden Rahmad guna menyebarkan Islam. Di Tumapel, Raden Hamzah
kemudian memiliki gelar baru yaitu Pangeran Tumapel. Selain terbilang
muda, Raden Hamzah juga gigij dalam menyebarkan Islam. Itu sebab, Raden
Hamzah juga dikenal sebagai anggota wali bersama para anggotanya yang
bersamaan dikirim oleh Raden Rahmad ke berbagai wilayah di tanah Jawa.
16. Raden Mahmud (Pangeran Kahuripan)
Raden Mahmud (dalam cerita Babad disebut Syekh Mahmud) ditempatkan di sepanjang Kahuripan dengan gelar Pangeran Kahuripan.
17. Syekh Siti Djenar (Syekh Lemah Abang)
Pada
dasarnya, Syekh Siti Djenar tidak dimasukkan dalam susunan Wali Songo
lantaran sikapnya yang dinilai murtad oleh sebagai banyak wali yang ada
di Indonesia. Namun demikian, dengan Syekh Siti Djenar adalah seorang
yang juga mengamalkan Islam di Indonesia (Nusantara). Bahkan tidak
sedikit pula yang mengatakan bahwa Syekh Siti Djenar adalah bukan sesat
lantaran dianggap sebagai pembawa ajaran Sufi di Indonesia.
Syekh
Siti Djenar yang juga dikenal sebagai Sitibrit atau Lemahbang atau Lemah
Abang adalah seorang tokoh tidak ada yang mengetahui secara pasti
asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai
asal-usulnya. Sedang anggapan sesat pada diri Syekh Siti Djenar ini
dengan menganggap ajarannya yaitu “Manunggaling Kawula Gusti”.
Dalam
hal penyebaran Islam oleh Syekh Siti Djenar, adalah ketika kerajaan
Demak dalam kejayaannya. Tentu saja Raden Patah yang ketika itu telah
memeluk Islam, menjadikan para wali lainnya menganggap Syekh Siti Djenar
adalah sesat. Meski pada dasarnya para pendukungnya berpendapat bahwa
Syekh Siti Djenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan, ajaran
ini lebih diartikan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua
makhluk dan bukan dianggap sebagai bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya.
Hanya saja, dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi
sangat dekat dengan Tuhannya.
Bahkan Syekh Siti Djenar pun menganggap
ajaran Syariat yang di bawa oleh para wali lainnya adalah tidak
spenuhnya mengingat kepada Tuhannya lantaran dalam beribadah masih
memikirkan hal keduniawian. Berbeda dengan ajaran Syekh Siti Djenar yang
berdzikir dengan sepenuh hati yang yang dapat menghadirkan Allah Swt.
Mengingat bahaya akan ajaran Syekh Siti Djenar, para wali pun kemudian
merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Djenar agar segera menghadap
Demak Bintoro.
Perbedaan pendapat akan tata cara beribadah antara
Syekh Siti Djenar dengan para wali lainnya adalah terlihat jelas dalam
penyebutan nama Tuhan. Para wali yang mengajarkan Islam dengan Tuhannya
yaitu Allah Swt., tidak demikian dengan Syekh Siti Djenar. Syekh Siti
Djenar lebih menekankan adanya zikir dan wirid lebih utama ketimbang
menyebut “Allah” hanya di bibir saja. Melihat ajaran Syekh Siti Djenar
ini, para wali tidak menyalahkan, hanya saja para wali lebih menekankan
agar ajaran ini tidak disampaikan terlebih dahulu lantaran takut akan
penyelah tafsiran saja. Dalam ajaran Syekh Siti Djenar yang lainnya,
memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian.
Sebaliknya, yaitu apa yang disebut sebagai kematian adalah sebagai awal
dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Dengan ajaran ini, tentu saja
manusia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum
negara dan lainnnya). Lebih parahnya, Syekh Siti Djenar kemudian
dijadikan sesat lantaran inti ajarannya adalah ketidak harusan manusia
memenuhi rukun Islam. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia
menjalani kehidupan setelah kematiannya.
Mengingat kondisi manusia
yang meski sebagai manusia sempurna, namun manusia sendiri juga dibatasi
oleh kelemahan pemikiran. Dan apabial ilmu Syekh Siti Djenar
diterapkan, kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha Agung atau Allah
hanya akan menjadikan kufur saja. Para Wali dan pihak kerajaan sepakat
untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Djenar dengan tuduhan
telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang
diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali
itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus,
dan Sunan Geseng.
Dalam hal penghakiman terhadap Syekh Siti Djenar
menjadi sebuah kisah yang menarik, yaitu sebuah kisah yang menyebutkan
bahwa ketika jenazah Syekh Siti Djenar disemayamkan di Masjid Demak,
menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau
memancar dari jenazah Syekh Siti Djenar. Sedang dalam hal makam Jenazah
Syekh Siti Djenar sendiri mendapatkan berbagai versi. Salah satu
pendapat mengatakan bahwa jenazah Syekh Siti Djenar dikuburkan di bawah
Masjid Demak oleh para wali. Sedang pendapat lain mengatakan bahwa
jenazah Syekh Siti Djenar dimakamkan di Masjid Mantingan Jepara. Hanya
saja, di makamnya disebutkan dengan menggunakan nama makam orang lain.